Mengapa 3G
Layanan 3G atau 3rd generation service , merupakan layanan komunikasi bergerak yang menjanjikan peningkatan bandwidth hingga 384 Kbps ketika diakses dalam keadaan diam dan berjalan, sementara kalau di kendaraan yang bergerak, kecepatannya sekitar 128 Kbps. Sedang untuk aplikasi tetap bisa mencapai 2Mbps.
Karenanya, teknologi ini diyakini akan memacu munculnya berbagai jenis layanan multimedia yang membutuhkan bandwidth besar seperti video streaming, game online , lagu MP3, video conference , dan lain sebagainya. Potensinya cukup besar, terutama kalau dilihat bahwa saat ini jumlah pelanggan, baik GSM, CDMA dan TDMA telah mencapai lebih dari 1,5 miliar, yang bisa dibilang merepresentasikan besarnya potensi pelanggan 3G di seluruh dunia.
Di Indonesia, Telkomsel, diperkirakan kini telah memiliki lebih dari dua juta pelanggan GPRS (2,5G). Di kota-kota besar yang potensial, Telkomsel diharapkan mampu menyediakan layanan data generasi ketiga tingkat tinggi yang berkecepatan antara 300 Kbps hingga 2 Mbps. Dengan tersedianya layanan 3G yang lebih tinggi kecetapan transmisi datanya, hal itu akan semakin mendorong peningkatan jumlah pelanggan yang membutuhkan komunikasi data berkapasitas besar alias broadband . Namun, ke depan, sejumlah operator lainnya juga akan masuk ke 3G.
Sedang di seluruh dunia (di luar Jepang), hingga akhir Februari 2005 lalu diperkirakan tak kurang dari 19 juta lebih pelanggan menggunakan WCDMA ( wideband code division multiple access ), yang jumlahnya diperkirakan akan terus meningkat dengan cepat.
Pada saat yang sama, kini diperkirakan sudah ada 66 jaringan yang meluncurkan layanan 3G komersial. Sedang layanan GSM yang banyak disediakan saat ini masuk dalam kategori layanan 2.5G (GPRS) atau 2.75G (EDGE), dimana transmisi datanya masih di bawah 100 Kbps.
Layanan 3G, yang diharapkan akan mendorong layanan multimedia melalui jaringan seluler, memang bisa didekati dari dua arah. Pertama , GSM (2G) dan TDMA, yang kemudian meningkatkan kemampuannya melalui GPRS ( General Packet radio Service ), yang menggunakan kanal TDMA yang tidak tergunakan di GSM. Jaringan ini mampu mentransmisikan data dengan kecepatan sekitar 30-70 Kbps ( kilobit per second ). Meski, secara teoritis GPRS bisa mencapai kecepatan 170 Kbps dan dikategorikan sebagai 2.5G.
Kemudian diikuti oleh EDGE ( Enhanced Data rates for GSM Evolution ), yang memungkinkan kecepatan transmisi data lebih tinggi, yakni sekitar 126 Kbps dan menjadi teknologi dengan transmisi data paling cepat, yang saat ini beroperasi di Indonesia. EDGE dikategorikan sebagai jaringan 2.75G, lebih cepat dibanding GPRS.
Namun, menurut GSM World Association, EDGE bahkan dapat mencapai kecepatan hingga 473,8 Kbps. Itu berarti, bila dibandingkan platform lain, kemampuan EDGE mencapai 3-4 kali kecepatan akses jalur kabel telepon (biasanya sekitar 30-40 Kbps) dan hampir 2 kali lipat kecepatan CDMA 2000 1X yang hanya sekitar 70-80 Kbps. Dengan EDGE, operator diperkirakan sudah mampu menyediakan berbagai layanan 3G yang menarik, antara lain: high quality audio streaming, video streaming, on line gaming, high speed download, high speed network connection, push to talk, dan lain sebagainya.
Di samping EDGE, juga ada WCDMA ( wideband code division multiple access ), yang dianggap setara dengan EDGE. Jalur lanjutannya tersedia bermacam-macam teknologi lainnya, yang cukup banyak dikenal adalah GERAN ( GSM EDGE Radio Access Network ), yang telah mengadopsi seluruh spesifikasi 3GPP ( third Generation Project Partnersip ) dan dianggap memenuhi kualifikasi generasi ketiga UMTS 3G. Juga, ada HSDPA ( high speed downlink packet access ), yang mampu mentransmisikan data hingga 384 Kbps (UMTS) dan menjanjikan kecepatan hingga 3 Mbps di ponsel.
Di jalur lain, ada CDMAOne yang berkembang menjadi CDMA2000 1x kemudian ke CDMA versi 2000-1X EVDO ( evolution data only ) yang berkapasitas mencapai 2,4 Mbps dan versi EVDV ( evolution data and video ) yang berkapasitas hingga 3,1 Mbps. Kedua jalur ini yang kini berpacu untuk mewujudkan layanan 3G dengan mengandalkan teknologi seluler. Namun, dengan spesifikasi yang lebih tinggi, Jepang justru menginisiasi layanan 4G, yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai awal perseteruan di jalur seluler, antara 3G dan 4G.
Di sisi lain, layanan semacam 3G ini bisa juga didekati melalui penerapan WiMAX ( Worldwide Interoperability for Microwave Access ), yang belakangan ini juga semakin marak dikembangkan, bukan hanya sebagai transmisi data point-point , melainkan sudah sampai pada end-user di the last mile . Kapasitasnya jauh lebih besar, namun hingga sekarang masih dilihat akan berhasil sebagai teknologi fixed broadband wireless , dan bukannya cellular wireless broadband .
Persaingan Ketat
Perlombaaan pengembangan layanan 3G, khususnya di jalur seluler ini, tampaknya lebih pada pengejewantahan WCDMA 3G. Meski, sebenarnya, WCDMA bukan jalur migrasi CDMA ke 3G, begitu juga bukan jalur langsung GSM ke 3G, banyak kalangan menilai bahwa WCDMA, sesungguhnya tak lebih cepat dibandingkan CDMA 2000-1X EVDO/EVDV. Namun, sebagian besar operator GSM masih tetap bersikukuh untuk menggunakan jalur WCDMA ini dalam menyediakan layanan 3G.
Di sisi lain, ada sebagian yang mencoba untuk menggabungkan antara GSM dan CDMA dengan menampilkan jaringan berteknologi canggih yang mereka sebut GSM-1x, yang mencangkokkan fasilitas CDMA 2000-1X ke ponsel GSM. Jalur WCDMA ini diperkirakan akan semakin banyak ditempuh, bahkan untuk menuju ke HSDPA yang konon katanya dapat mentransmisikan data hingga kecepatan 14,4 Mbps. Hanya saja, HSDPA ini dianggap bukan lagi 3G, melainkan sudah 3,5G, atau bahkan 4G.
Tak semua penerapan 3G memberi hasil sebagaimana diharapkan. Meski begitu, Wireless World Forum men ampilkan gambaran yang cukup optimis, dimana pelanggan 3G global diperkirakan akan meningkat dari 45 juta (2004) menjadi 85 juta pada 2005. Hal ini, terutama karena GSM memiliki jumlah pelanggan yang sangat banyak dan luas, yakni telah menjangkau lebih dari 200 negara dengan lebih 1,25 miliar pengguna, sedang CDMA 202 juta dan TDMA 120 juta.
Kalau dilihat dari wilayah atau negara, hanya Jepang dan Korea saja yang dianggap mampu mendongkrak para pelanggan 3G cukup tingi dan berbeda hasilnya dengan kasus Eropa, meskipun Eropa telah menggelar jaringan 3G yang boleh dikata paling luas. Di Amerika, diperkirakan tak kurang dari 55% para pebisnis dari perusahaan-perusahaan besar pada 2006 mendatang akan menggunakan 3G. Tetapi, jumlah itu masih relatif jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Jepang dan Korea.
Hingga saat ini, perkembangan 3G yang paling marak di dunia boleh dikata ya di Jepang. Operator NTT DoCoMo, yang menerapkan 3G mulai Oktober 2001, kini sudah memiliki basis pelanggan 3G terbesar, yang kemudian bersama dengan KDDI, menempatkan Jepang sebagai negara dengan pelanggan 3G terbesar di dunia.
NTT DoCoMo, yang memiliki 49,25 juta pelanggan, pelanggan 3G-nya telah mencapai 12,88 juta (Juni 2005), terutama setelah ketersediaan ponsel, cakupan area layanan dan kehandalan ponselnya ditingkatkan. Ponselnya sendiri dijual dengan harga US$96 atau kurang dari Rp.1 juta. Selain itu, NTT DoCoMo juga melebarkan rentang pasarnya, yang semula hanya untuk kelas atas, kini menjadi kelas menengah ke atas.
Sementara KDDI Corp., yang pelanggan selulernya sekitar 20 juta, namun pelanggan 3G-nya sudah mencapai 18,49 juta atau 92% pelanggan seluler. Padahal, KDDI meluncurkan layanan 3G-nya justru lebih lambat dibandingkan NTT DoCoMo, yakni baru awal 2002.
Namun, layanan 3G yang dikembangkan di Jepang, meskipun menggunakan teknologi W-CDMA, dianggap tidak kompatibel dengan standar UMTS ( Universal Mobile Telecommunications System ). Layanan 3G di Jepang yang mengusung merek FOMA ( Freedom of Mobile Multimedia Access ), yang merupakan penerapan jaringan WCDMA komersial pertama di dunia, sebelumnya hanya eksklusif untuk digunakan di Jepang saja dan tidak menyediakan roaming global. Namun, saat ini, mereka telah mengikuti standar UMTS, sehingga memungkinkan dilakukannya roaming global.
Ketika banyak mata masih melihat ke Jepang, Korea Selatan, yang dianggap sebagai negara pertama menerapkan 3G, terutama ketika Juni 2001 tiga operator negeri ginseng (SK Telecom, KT Freetel dan LG Telecom) menerapkan jaringan 3G yang disebut cdma2000 1xRTT , penetrasi pelanggan 3G-nya meningkat cukup tinggi. Dari sekitar 34 juta pelanggan telepon seluler, 30 juta di antaranya telah menggunakan layanan 3G (termasuk pelanggan 1xRTT). Bahkan, hingga pertengahan 2002, kecepatan transmisi datanya telah meningkat mencapai rata-rata 500-600 Kbps, utamanya setelah operator menerapkan 1xEV."
Sebaliknya, di Eropa, dimana penerapan jaringan 3G-nya boleh dikata paling luas, namun jumlah pelanggannya masih belum seperti diharapkan. Dengan tidak memasukkan pelanggan layanan 3G Jepang, yang mencapai 31,5 juta, maka pelanggan 3G UMTS dunia diperkirakan mencapai 19 juta awal tahun 2005. Dari jumlah itu, Eropa mengklaim bahwa jumlah pelanggannya mencapai sepertiganya atau 6,33 juta. Padahal, tak kurang dari 100 lisensi 3G telah dikeluarkan di 40 negara di kawasan tersebut. Malah, tahun 2005 ini akan lebih banyak lisensi yang dikeluarkan, termasuk di kawasan Rusia.
Cina, yang memiliki sekitar 282 juta pengguna GSM, dianggap memiliki potensi besar untuk meraih sukses penerapan teknologi 3G. Sampai Januari 2005, jumlah pelanggan seluler (GSM/CDMA)-nya telah mencapai 320 juta, yang berarti telah melampaui jumlah pelanggan telepon tetapnya. Sedang lisensi 3G-nya diperkirakan terbit tahun ini, yang mencakup teknologi WCDMA, CDMA dan TD-SCDMA.
Kawasan lain yang dianggap potensial untuk 3G adalah Amerika Serikat, terutama yang berbasis teknologi WCDMA. Saat ini, umumnya operator menerapkan teknologi CDMA dan GSM/EDGE. Diharapkan, tahun depan ini, perkembangan 3G di Amerika akan berkembang pesat, mengingat jumlah pengguna GSM/CDMA-nya sangat besar.
Bagaimana di Indonesia
Di Indonesia sendiri, penerapan 3G, tampaknya masih membutuhkan waktu cukup panjang. Baru Telkomsel dan Indosat yang melakukan ujicoba jaringan 3G. Sementara, dua perusahaan baru pemegang lisensi 3G, Natrindo Telepon Seluler (NTS, Lippo Telecom) dan Cyber Access Communication (CAC), belum menyediakan layanannya. Alih-alih menyediakan layanan, NTS malah telah menjual 51 persen sahamnya ke perusahaan telekomunikasi asal Malaysia, Maxis Communications Berhad (telah meluncurkan layanan 3G di Malaysia). Begitu juga, CAC telah menjual 60 persen sahamnya ke Hutchinson Telecommunications Intenational Ltd., operator asal Amerika Serikat.
Belakangan, pemerintah, melalui Menkominfo, terpaksa melakukan audit lisensi 3G setelah muncul berbagai ketidaksetujuan banyak pihak terhadap pemberian lisensi 3G kepada dua perusahaan baru itu pada masa pemerintahan sebelumnya. Sebelumnya CAC mendapatkan alokasi frekuensi 15MHz, sedang NTS, Lippo mendapatkan 10MHz.
Masalahnya, pemberian itu dianggap tidak fair , karena operator seluler yang ada, malah tak mendapatkan. Padahal, spektrum 3G, yakni antara 1900MHz - 2100MHz, selama ini telah ditempati oleh sejumlah operator untuk penyediaan layanan CDMA-1x dan CDMA 1x-EVDO ( evolution data optimized ), yakni Indosat (StarOne), Telkom (Flexi), Primasel dan Wireless Indonesia, yang masing-masing diberikan 5MHz.
Setelah melakukan audit, diperkirakan Juli 2005 ini pemerintah akan menggelar tender ulang pemberian frekuensi 3G. Menkominfo memperkirakan akan ada frekuensi sebesar 45 MHz yang bisa dialokasikan untuk operator 3G ini. "Jadi kalau ada 5 pemain, yang 4 masing-masing mendapat 10 MHz. Sedang sisa satu operator lainnya, hanya mendapatkan 5 MHz. Karenanya, hal itu akan dilakukan melalui tender, siapa dapat berapa, termasuk penentuan harganya," kata Sofyan ketika memaparkan soal pembagian frekuensi itu.
Pengalaman di negara-negara lain, untuk mendapatkan frekuensi 3G ini, operator harus mengeluarkan biaya yang tidak kecil, yakni antara US$10 juta hingga US$20 juta per MHz-nya. Yang terjadi sebelumnya, pemerintah justru memberikannya sebagai alokasi dan malah pemberiannya pun dilakukan sekaligus sebesar 30MHz untuk dua operator baru, yang sama sekali tak berpengalaman mengelola layanan telekomunikasi. Hal inilah yang kemudian menuai protes banyak pihak yang terkait, utamanya kalangan operator lama, yang memang sejak jauh-jauh hari sudah berharap akan diberi lisensi untuk menyediakan layanan 3G.
Namun, apakah dengan bagi-bagi frekuensi ini, masalah penyediaan 3G menjadi lebih mudah? Wow, tunggu dulu, karena ketersediaan jaringan dengan lisensi frekuensi yang dimiliki, operator masih harus menyiapkan jaringan dan layanannya, termasuk ketersediaan kontennya. Tersedianya jaringan yang handal, tanpa didukung konten-konten yang beragam, yang menarik minat para penggunanya, jaringan 3G tak akan ada artinya
Sumber : E Bizz Asia
|